Ruang alternatif bagi penikmat musik kembali menganga, setelah tembok apresiasi karya musisi Indonesia didobrak untuk kali ke-3 dalam gelaran Djakarta Artmosphere yang berlangsung seru pada sabtu (22/10) di Tennis Indoor Senayan, Jakarta.
Seribuan muda-mudi telah datang ke area 'perbenturan' musisi dua generasi yang dicampuradukkan dalam satu panggung pertunjukan sejak jarum jam masih berada dalam kisaran pukul 16.00 WIB. Dan langsung disambut oleh para musisi muda di welcoming stage yang berada di pelataran di luar gedung tempat berlangsungnya acara yang diprakarsai G Production dengan menggabungkan dua kata, yaitu art dan atmosphere dengan kata Djakarta sebagai tempat berlangsungnya kolaborasi dua generasi.
Dari depan gerbang sebelum memasuki area acara, penonton disuguhi dengan gambar-gambar indah dalam pameran foto dari Galeri Jurnalistik Antara. Menikmati suguhan seni lainnya sebagai pengantar memasuki seni musik yang disuguhkan dari
Experience Brothers,
Luky Annash,
White Shoes and The Couples Company,
Sir Dandy, dan
Dialog Dinihari yang menghangatkan suhu sekitar Senayan, yang sore itu diselimuti langit mendung.
Baru sekitar pukul 19.30 WIB, acara puncak di venue Tennis Indoor Senayan berlangsung. Wajah muda-mudi belia itu kian berseri kala
Endah n Rhesa tampil membawakan 4 buah lagu, yang kemudian disusul dengan aksi kolaboratif dengan musisi senior
Margie Segers dengan membawakan 3 lagu, dengan 2 lagu hits:
Semua Bisa Bilang, dan
Gimme One Reason dari
Margie Segers sebagai penutup.
Musik bernuansa magis yang diusung
Sarasvati sebagai penampil ke-2 dapat diimbangi
Keenan Nasution, musisi yang karyanya di era 70-80-an dikagumi banyak orang ini berhasil membius penonton lewat kolaborasi mistis dalam lagu
Chopin Larung,
Zamrud Khatulistiwa,
Sendu yang dimedley lagu
Oh I Never Know. Di sesi akhir kebersamaannya dengan
Sarasvati, set drum menjadi pilihan
Keenan mengiringi
Story Of Peter sebagai puncak penampilannya.
Lepas penampilan memukau dari
Pure Saturday yang menggandeng musisi sekaliber
Jockie Suryoprayogo dengan membawakan lagu-lagu macam:
Elora,
Horsemen,
Citra hitam,
Albatross, dan
Elang waktu pun telah melewati tengah malam.
Dan yang paling ditunggu pun akhirnya muncul di atas panggung pada pukul 00.15 WIB, dengan penampilan awal dari
The Brandals dengan 6 lagu yang dibawakannya.
Koes Plus dengan
Yon Koeswoyo yang berusia 71 tahun (lahir 27 september 1940) ternyata mampu 'mensejajari' aksi liar dari
The Brandals dengan jejingkrakan membawakan lagu
Kelelawar, dan
Oh Kasihku.
“Musik rock sebagai musik 'ngak ngik ngok' pernah dilarang oleh rezim
Soekarno (PP No.11/1963) dan karenanya
Koes Plus (ketika itu bernama
Koes Bersaudara) pernah dipenjara karena membawakan musik rock. Tanpa
Koes Plus,
The Brandals dan musik rock belum tentu bisa berada di sini sekarang. Salut buat
Koes Plus!” ujar Eka Annash, vokalis
The Brandals mengisi jeda lagu.
Yap, musik rock dikatakan sebagai bagian “Imperialisme Kebudayaan” yang dikemukakan
Bung Karno lewat pidato “Manipol Usdek” pada 17 agustus 1959, yang kemudian diputuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung pada bulan September 1959 sebagai GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Dan Penjara Glodok menjadi saksi bisu terpenjaranya kreativitas dengan
Koes Plus berada di dalamnya.
Maka tembang
Jemu, dan
Pelangi yang kembali dibawakan kolaboratif antara
Koes Plus, sebagai legenda hidup musik Indonesia, dan
The Brandals, yang mewakili generasi saat ini seperti menyiratkan keindahan kemerdekaan berkreativitas lewat media apapun, seperti warna pelangi yang begitu indah sebagai penutup rangkaian acara
Djakarta Artmosphere yang mampu memberi warna beringas dalam sisi romantisme.